Senin, 11 Januari 2010
Saleh Politik atau Takut Tertembak
Meskipun ada pandangan yang memisahkan politik dari agama, namun agama tetap punya arti penting bagi politik, demikian juga sebaliknya. Ada hubungan simbiosa mutualistik antara keduanya. Politik perlu agama sebagai sumber legitimasi, agama perlu politik sebagai payung dan ma’isyah (sumber daya hidup).
Komunikasi politik seringkali menggunakan bahasa agama. Apalagi dalam masyarakat agamis seperti negeri ini. Maka banyak dijumpai modus politikisasi agama. Umpama, bagi penguasa yang tidak memiliki latar belakang agama atau santri, katakanlah dari kalangan abangan atau priyai, cepat-cepatlah berhaji, atau minimal rajin ke masjid atau pesantren. Ada juga yang kalau pidato, prolognya berbahasa Arab atau ketika mencuplik potongan ayat al-Qur’an atau hadis difasih-fasihkan agar melekat kesan di benak hadirin ia memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Ada juga yang rajin ngajak umat untuk ber-istighasah. Ini lebih kelihatan syi’ar dan gegap gempita lagi. Biar preman asal saleh. Macam-macam kecanggihan modus politik agama itu.
Para pengguna modus-modus itu tingkatannya juga bermacam-macam. Ada yang mahir betul sehingga tidak kelihatan kamuflazenya. Seakan-akan ia manusia yang betul-betul saleh padahal preman. Ada juga yang kemahiran berpura-pura-nya sama sekali tidak canggih sehingga rakyat tahunya ia bajingan melulu meski sudah dipoles sedemkian rupa. Penyamaran yang ia buat hanya menambah caci-maki saja. Ada juga yang samar-samar, bandit tidak, saleh juga tidak, tetapi ia tidak berusaha menutup-nutupi apa adanya atau menampakkan apa yang sebetulnya tidak ada.
Sering kami mendiskusikan hal itu, dan kalau sudah diskusi biasanya berlangsung berlarut-larut. Sampai juga akhirnya pada penilaian terhadap tokoh kita, bagaimana dengan ia?
Kata seorang peserta, tokoh kita ini unik. Haji sudah berkali-kali, mestinya kalau ke masjid pakenya surban atau topi haji lalu ambil shaf paling dekat dengan imam, bahkan sekalian jadi imam atau khatib. “Coba lihat, pemimpin tetangga sebelah itu, ke mana-mana khutbah dan ngimami. Ini, malah duduk di belakang.”
“Tapi bagus begitu,” kata peserta yang lain. “Ia kelihatan natural, tidak dibuat-buat. Mereka yang lain itu kan sok jadi pemimpin. Meski terlambat tapi tetap harus di depan, dilayani, dan semua orang diserobot. Seharusnya ia hanya dapat telur tapi jadi dapat unta. Itu feodal namanya.”
Yang lain menyambut: “Coba pemimpin kita, terlambat ya di belakang. Merasa nggak bisa agama, ya jadi pendengar saja. Menjadi kepala daerah kan urusan politik, urusan ibadah sama saja untuk semua orang. Itu merakyat namanya.”
Yang lain menentang. “Kenapa tokoh kita tidak suka tampil jadi bintang kalau ada perhelatan keagamaan? Itu karena memang ia tidak memiliki kemampuan untuk mengelola agama sebagai piranti politik, bukan apa-apa.”
“Bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Itu memecah dan membodohi umat namanya. Sudah nggak banyak berbuat menggerogoti lagi. Kan payah,” bantah yang lain.
Macam-macam asumsi yang berkembang mengenai tingkah laku politik tokoh kita. Masing-masing ngotot atas pendapat sendiri. Sampai-sampai ada yang sudah mencengkeram kerah baju teman segala. Akhirnya diputuskan untuk mengkonfirmasi langsung kepada sang tokoh kita.
“Apa yang membuat Bapak suka duduk di belakang kalau pergi shalat Jum’at ke kampung-kampung, tidak di depan dan jadi imam seperti kebanyakan pejabat yang lain?”
Tokoh kita menjawab: “Begini, Mas. Kalau ada teroris pasti yang diberondong barisan depan. Lha, kita di belakang tinggal angkat sarung lalu loncat pagar. Selamat ente punya pemimpin.”
Para peserta diskusi hanya bisa ‘o o o’.●
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar