Selasa, 12 Januari 2010

Kami Tulalit, Tapi Kamu Rumit


“Makalah-makalah yang tersaji pada seminar hari ini mengungkap hal yang sudah kita ketahui, hanya saja dengan cara yang jauh lebih kompleks” (Alphonse Raymond Dochez)

Sejumlah ilmuan menemui sang kepala daerah di kantornya. Selain bersilaturrahmi, mereka juga membawa sekian banyak pemikiran dan gagasan yang menurut mereka sangat bermanfaat bagi pembangunan kota. Mereka ingin menyumbang darma bakti bagi daerahnya.
Sang kepala daerah menyambut mereka dengan suka cita, karena para aset berharga pembangunan itu mau turun tangan memikirkan nasib dan berbuat untuk kampung halaman.
Ketika gagasan-gagasan mereka dipresentasikan, sang kepala daerah tampak manggut-manggut sambil sesekali mengepulkan asap dji sam soe-nya, dan para ilmuan itu pun senyum memperlihatkan kepuasan. Selanjutnya, disepakatilah sebuah proyek penelitian untuk menemukan lebih detail berbagai faktor dan variabel di seputar konsep-konsep yang berpengaruh dalam pembangunan daerah.

Dalam waktu tidak terlalu lama para ilmuan itu telah rampung dengan pekerjaan mereka. Mereka pun datang kembali menemui sang kepala daerah sambil menenteng naskah akademik yang tebal. Mereka dipersilakan memaparkannya di hadapan khalayak, baik dari kalangan pejabab, birokrat, maupun masyarakat kebanyakan. Semua hadirin manggut-manggut. Tidak ada sanggahan atau pembelaan. Semua paparan mengagumkan, dan diterima tanpa reserve. Para ilmuan pun senyum kepuasan.

Sebulan dua bulan mereka menunggu hasil kerja ilmiah mereka diterapkan oleh sang kepala daerah . Hasilnya nihil. Setahun mereka menunggu tidak ada tanda-tanda digunakan. Sampai akhirnya sang kepala daerah lengser dan diganti sang kepala daerah yang baru.
Para ilmuan tetap terjaga optimismenya, dan mereka menaruh harapan pada sang kepala daerah yang baru. Kembali mereka datang menghadap, menjelaskan urgensi peran mereka dalam pembangunan. Hasilnya, disepakati suatu pekerjaan penelitian untuk mencari bahan pengambilan kebijakan pembangunan. Kali ini pekerjaan selesai lebih cepat. Output-nya mengagumkan. Tak terhitung cemerlangnya konsep-konsep dari kajian itu. Juga canggih dan kompleks.

Setelah diadakan sosialisasi, para ilmuan kembali menunggu karya akademik mereka diterapkan. Kali ini menunggunya lebih lama, bertahun-tahun tak tahu juntrungannya. Sampai kemudian sang kepala daerah digantikan oleh orang lain.

Para ilmuan itu belum bosan-bosannya. Mereka menghadap sang kepala daerah yang baru ini. Kali ini mereka datang bukan hanya membawa usulan projek penelitian sebagaimana yang sudah-sudah, tetapi juga menegosiasikan posisi strategis mereka di kancah pembangunan masyarakat. Sudah harus disepakati posisi tawar mereka di depan penguasa. Tidak boleh lagi menjadi pihak yang terabaikan.

Karena trauma dengan pengalaman dengan kepala daerah-kepala daerah terdahulu, kali ini strategi komunikasi para ilmuan dimodifikasi. Kalau dulu-dulu santun dan bermartabat, maka kini lebih berapi-api dan bergelora.
“Mbok ya kami ini dihargai. Yang namanya ilmu itu mahal, Bapak. Kami mendapatkannya jauh-jauh dan mahal-mahal!” kata salah seorang dari ilmuan itu.
Sang kepala daerah manggut-manggut.
“Tu kan, lihat, bapak-bapak para pemimpin atau penguasa ini sama saja. Pura-pura mengerti padahal – sumpah! – tidak sama sekali,” timpal rekannya.
Sang kepala daerah masih manggut-manggut, kali ini dicampur dengan mesem-mesem.
“Jangan hanya manggut-manggut senyum-senyam begitu, Pak! Katakan sesuatu, kami butuh jawaban konkret dari Bapak!” kata seorang lagi.

Sang kepala daerah panas juga. Rokok kreteknya digasak di asbak sampai hancur bercerei berei tembakaunya, lalu ia bicara:
“Bapak-bapak yang mulia. Kami ini bodoh, tidak mengerti cara bapak-bapak berbicara. Bicara bapak-bapak tinggi sekali, sedang kami ini ilmunya rendah. Jadi, tolong pakai bahasa rendah agar kami paham. Kami bodoh, tulalit, tapi bapak-bapak kok rumit sih…” Para ilmuan sunggingkan senyum, ada aksen getir, dan saling memandang sesama. Seakan sudah mafhum masalahnya.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar