Membangun sebuah kota adalah representasi dari membangun sebuah peradaban besar. Membangun sebuah kota juga merupakan pembuktian dari apa yang disebut-sebut sebagai tugas khalifatullah di bumi.
Sangat berat tugas itu. Jika saja manusia pembangun itu tidak dibekali dengan perangkat akal, rasa, dan karsa, maka sulitlah baginya melaksanakan amanah mulia itu. Akal, rasa, dan karsa melahirkan pengetahuan dan keterampilan tertentu dalam upaya membangun dan menata peradaban dan masyarakat.
Manusia kreatif pasti mencoba tidak menyerah meskipun pergulatannya dalam membangun dan menata komunitas dililit oleh keterbatasan bahkan kenihilan sumber daya. Ia mencurahkan segala kemampuannya untuk menyumbang sesuatu bagi terwujudnya suatu cita-cita kemakmuran komunitasnya.
Betapapun beratnya.
Betapapun naifnya.
Selasa, 02 Februari 2010
Sabtu, 30 Januari 2010
Siapa Kaum Cendekiawan?
Kaum cendekiawan adalah orang yang diambil dari masyarakatnya untuk memainkan peran-peran profetik, mengajak orang kepada kebaikan dan melarangnya dari perbuatan hina dan malapetaka. Mereka menjalankan fungsi sosial itu secara individu sebagai single fighter ataupun secara kolektif. Apa yang disebut kebaikan dan kemungkaran juga bersifat individual sekaligus sistemik.
Kaum cendekiawan – meminjam Ali Syari’ati – adalah raushan fikr, orang yang sungguh-sungguh berpikir dan berzikir untuk menemukan segala kemungkinan bagi perbaikan masyarakat. Ketika mereka tiba-tiba berada pada kebuntuan sejarah – baik oleh karena lemahnya masyarakat atau karena terlalu kuatnya suatu rezim – mereka berani berketetapan untuk menjadi warrior atas nama rakyat; dan jika mereka kalah dan karenanya ditimpali oleh aniaya, mereka berhijrah, mereka putuskan ikatan dengan tanah kelahiran mereka, menuju tempat-tempat yang jauh, untuk menemukan ikhtiar, potensi, dan modus baru bagi perlawanan berikutnya. Pada saatnya, mereka harus kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat, mayarakat yang tengah mengerang di bawah lars penguasa. Bukan sebagai ratu adil, tetapi sekedar sebagai suluh yang dapat menerbitkan kembali harapan-harapan yang telah mati.
Kaum cendekiawan adalah mereka yang tidak peduli terhadap nasib sejarah individualnya sendiri. Yang terutama baginya adalah masa depan sejarah kolektif. Adapun dirinya, mau dicemplungkan ke sungai kesepian, bukanlah soal. Karena bagi kaum cendekiawan, menjadi cendekiawan adalah pilihan: pilihan dengan penuh keberanian!
Kaum cendekiawan – meminjam Ali Syari’ati – adalah raushan fikr, orang yang sungguh-sungguh berpikir dan berzikir untuk menemukan segala kemungkinan bagi perbaikan masyarakat. Ketika mereka tiba-tiba berada pada kebuntuan sejarah – baik oleh karena lemahnya masyarakat atau karena terlalu kuatnya suatu rezim – mereka berani berketetapan untuk menjadi warrior atas nama rakyat; dan jika mereka kalah dan karenanya ditimpali oleh aniaya, mereka berhijrah, mereka putuskan ikatan dengan tanah kelahiran mereka, menuju tempat-tempat yang jauh, untuk menemukan ikhtiar, potensi, dan modus baru bagi perlawanan berikutnya. Pada saatnya, mereka harus kembali lagi ke tengah-tengah masyarakat, mayarakat yang tengah mengerang di bawah lars penguasa. Bukan sebagai ratu adil, tetapi sekedar sebagai suluh yang dapat menerbitkan kembali harapan-harapan yang telah mati.
Kaum cendekiawan adalah mereka yang tidak peduli terhadap nasib sejarah individualnya sendiri. Yang terutama baginya adalah masa depan sejarah kolektif. Adapun dirinya, mau dicemplungkan ke sungai kesepian, bukanlah soal. Karena bagi kaum cendekiawan, menjadi cendekiawan adalah pilihan: pilihan dengan penuh keberanian!
Selasa, 12 Januari 2010
Kenalkan, Saya Alumni IPDN
Orang Surabaya, atau Jawa Timur pada umumnya, kalau ketemu pasti saling pisuhan. Mengumpat satu sama lain dengan gaya khas suruboyoan yang sengit. Jancok! neng di ae, kon?
Jika ungkapan seperti itu disemburkan di depan telinga orang Jogya, Solo, atau orang Jawa Tengah pada umumnya, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak direncanakan, semisal baku hantam atau cengkeraman pada leher baju si pembicara. Atau minimal yang bicara itu akan ditempeli cap tidak beradab.
Gaya bicara polos apa adanya itu, meski kultur, merisaukan banyak orang di Surabaya, terutama kalangan intelektual, wabilkhusus kaum moralis. Mereka kemudian menyelenggarakan seminar dengan maksud untuk mengembangkan wacana perlawanan terhadap pola ungkap “ngoko” Jawatimuran. Hasil seminar malah mengagetkan mereka: merestui budaya bertutur lugas seperti itu. Wong itu bukan cetusan kejahatan atau kegenitan hati, melainkan cermin keakraban dan kerendahan hati. Pisuhan itu sudah jadi semacam ndagel dalam ludrukan, suatu rukun yang harus ada dalam pergaulan populis sesama rakyat. Kalau nggak ada itu, pasti terasa hambar. Jadi, nggak usah jadi beban pikiran.
Di Bima ada juga etnis yang punya perangai lugas dan ceplas-ceplos seperti itu. Kalau ketemu orang sesama kampung, juga dengan siapa pun, say hallo-nya menggetarkan: “Mea mancikue, malao ta be kue?” Atau sejenis itu. Bagi yang asing pasti merah telinga, karena membawa-bawa barang paling terhormat dari kaum yang terhormat, perempuan. Tapi bagi yang mafhum pasti menyambutnya dengan hangat.
Bagaimana kalau budaya-etika seperti itu diratifikasi oleh orang perorang yang secara komunal bukan pendukung budaya itu. Macam Tokoh Kita misalnya. Ia kan bukan arek Suroboyo atau anak Ngali yang longgar tata karma berbahasanya itu. Tapi anak dari suatu kebudayaan keraton yang adiluhung. Memang dalam masyarakat kita tidak ada kelas feodalistik macam di Jawa, tapi yang namanya panutan harus menata diri, gerak-gerik dan tutur kata. Maka kalau bicara harus rapi seperti SBY atau Murdiono. Jangan kacau seperti kicau kecial. Sebab bisa menjadi masalah.
Dikasih tahu seperti itu, tokoh kita manggut-manggut saja seperti semuanya sudah terpendam dalam-dalam di benaknya. Tapi besoknya tiba giliran pidato, masih pisuhan juga. Malah ditambah ngancam-ngancam audiens pake mau dipukul dan dipenjarakan segala. Seloroh memang, tapi tetap saja ada yang masygul.
Para ulama, tetua, dan kaum moralis lalu mengadakan rapat untuk mencari sebuah resolusi. Hasilnya, Tokoh Kita harus diberi peringatan sebelum ia kebablasan. Karena tidak memiliki kultur dipanggil, Tokoh Kita ditemui. Ia dinasehati sebagai seorang anak oleh para tetua itu. Itu manifestasi kecintaan mereka pada Tokoh Kita. Tokoh Kita diminta untuk begini dan begitu, to be ini to be itu bertubi-tubi. Selain mengangguk dengan anggukan yang dalam berkali-kali tanda mafhum, Tokoh Kita berterima kasih yang tulus atas saling menasehati ini. Ini kewajiban moral dan kewajaran demokrasi. Tokoh Kita merasa senang, dan para tetua itu pun lebih bersuka cita karena merasa masih memiliki tuah. Untuk merayakan mereka sepakat ber-istighasah ala NU.
Giliran acara pidato, tokoh kita santun sekali bicaranya kayak Sri Sultan Hamengkubuwono atau pengasuh acara Bahasa Indonesia di televisi. Tapi batuk seringkali meledak. Maka, diadopsi sesekali gaya Amien Rais yang sengit dan menohok-nohok. Tapi, lama-lama gaya soroboyoan juga kembali muncul. Para pendengar mulai salin pandang, curiga. Kini semakin menjadi-jadi. Apalagi gaya ngali ikut terlibat. Ditambah lagi tangan dikepal, kaki juga dihentakkan dan diterjang.
Para hadirin kembali saling memandang, tapi kali ini penuh makna dan mengandung isyarat. Sejenak kemudian mereka serentak teriak, “Stop! Hentikan! Turun!” Mereka membentuk suasana seperti mahasiswa mau menjebol pintu rektor yang kokoh. Yel-yel penuh semangat diteriakkan mengiringi langkah-langkah yang merangsek maju.
Tiba-tiba seseorang berbisik, “Ia alumni IPDN, lho. Hati-hati!”
Tiba-tiba seseorang teriak, “Bubar! Bubar! Jangan cari penyakit! Mundur!”[]
Jika ungkapan seperti itu disemburkan di depan telinga orang Jogya, Solo, atau orang Jawa Tengah pada umumnya, pasti akan terjadi sesuatu yang tidak direncanakan, semisal baku hantam atau cengkeraman pada leher baju si pembicara. Atau minimal yang bicara itu akan ditempeli cap tidak beradab.
Gaya bicara polos apa adanya itu, meski kultur, merisaukan banyak orang di Surabaya, terutama kalangan intelektual, wabilkhusus kaum moralis. Mereka kemudian menyelenggarakan seminar dengan maksud untuk mengembangkan wacana perlawanan terhadap pola ungkap “ngoko” Jawatimuran. Hasil seminar malah mengagetkan mereka: merestui budaya bertutur lugas seperti itu. Wong itu bukan cetusan kejahatan atau kegenitan hati, melainkan cermin keakraban dan kerendahan hati. Pisuhan itu sudah jadi semacam ndagel dalam ludrukan, suatu rukun yang harus ada dalam pergaulan populis sesama rakyat. Kalau nggak ada itu, pasti terasa hambar. Jadi, nggak usah jadi beban pikiran.
Di Bima ada juga etnis yang punya perangai lugas dan ceplas-ceplos seperti itu. Kalau ketemu orang sesama kampung, juga dengan siapa pun, say hallo-nya menggetarkan: “Mea mancikue, malao ta be kue?” Atau sejenis itu. Bagi yang asing pasti merah telinga, karena membawa-bawa barang paling terhormat dari kaum yang terhormat, perempuan. Tapi bagi yang mafhum pasti menyambutnya dengan hangat.
Bagaimana kalau budaya-etika seperti itu diratifikasi oleh orang perorang yang secara komunal bukan pendukung budaya itu. Macam Tokoh Kita misalnya. Ia kan bukan arek Suroboyo atau anak Ngali yang longgar tata karma berbahasanya itu. Tapi anak dari suatu kebudayaan keraton yang adiluhung. Memang dalam masyarakat kita tidak ada kelas feodalistik macam di Jawa, tapi yang namanya panutan harus menata diri, gerak-gerik dan tutur kata. Maka kalau bicara harus rapi seperti SBY atau Murdiono. Jangan kacau seperti kicau kecial. Sebab bisa menjadi masalah.
Dikasih tahu seperti itu, tokoh kita manggut-manggut saja seperti semuanya sudah terpendam dalam-dalam di benaknya. Tapi besoknya tiba giliran pidato, masih pisuhan juga. Malah ditambah ngancam-ngancam audiens pake mau dipukul dan dipenjarakan segala. Seloroh memang, tapi tetap saja ada yang masygul.
Para ulama, tetua, dan kaum moralis lalu mengadakan rapat untuk mencari sebuah resolusi. Hasilnya, Tokoh Kita harus diberi peringatan sebelum ia kebablasan. Karena tidak memiliki kultur dipanggil, Tokoh Kita ditemui. Ia dinasehati sebagai seorang anak oleh para tetua itu. Itu manifestasi kecintaan mereka pada Tokoh Kita. Tokoh Kita diminta untuk begini dan begitu, to be ini to be itu bertubi-tubi. Selain mengangguk dengan anggukan yang dalam berkali-kali tanda mafhum, Tokoh Kita berterima kasih yang tulus atas saling menasehati ini. Ini kewajiban moral dan kewajaran demokrasi. Tokoh Kita merasa senang, dan para tetua itu pun lebih bersuka cita karena merasa masih memiliki tuah. Untuk merayakan mereka sepakat ber-istighasah ala NU.
Giliran acara pidato, tokoh kita santun sekali bicaranya kayak Sri Sultan Hamengkubuwono atau pengasuh acara Bahasa Indonesia di televisi. Tapi batuk seringkali meledak. Maka, diadopsi sesekali gaya Amien Rais yang sengit dan menohok-nohok. Tapi, lama-lama gaya soroboyoan juga kembali muncul. Para pendengar mulai salin pandang, curiga. Kini semakin menjadi-jadi. Apalagi gaya ngali ikut terlibat. Ditambah lagi tangan dikepal, kaki juga dihentakkan dan diterjang.
Para hadirin kembali saling memandang, tapi kali ini penuh makna dan mengandung isyarat. Sejenak kemudian mereka serentak teriak, “Stop! Hentikan! Turun!” Mereka membentuk suasana seperti mahasiswa mau menjebol pintu rektor yang kokoh. Yel-yel penuh semangat diteriakkan mengiringi langkah-langkah yang merangsek maju.
Tiba-tiba seseorang berbisik, “Ia alumni IPDN, lho. Hati-hati!”
Tiba-tiba seseorang teriak, “Bubar! Bubar! Jangan cari penyakit! Mundur!”[]
Kami Tulalit, Tapi Kamu Rumit
“Makalah-makalah yang tersaji pada seminar hari ini mengungkap hal yang sudah kita ketahui, hanya saja dengan cara yang jauh lebih kompleks” (Alphonse Raymond Dochez)
Sejumlah ilmuan menemui sang kepala daerah di kantornya. Selain bersilaturrahmi, mereka juga membawa sekian banyak pemikiran dan gagasan yang menurut mereka sangat bermanfaat bagi pembangunan kota. Mereka ingin menyumbang darma bakti bagi daerahnya.
Sang kepala daerah menyambut mereka dengan suka cita, karena para aset berharga pembangunan itu mau turun tangan memikirkan nasib dan berbuat untuk kampung halaman.
Ketika gagasan-gagasan mereka dipresentasikan, sang kepala daerah tampak manggut-manggut sambil sesekali mengepulkan asap dji sam soe-nya, dan para ilmuan itu pun senyum memperlihatkan kepuasan. Selanjutnya, disepakatilah sebuah proyek penelitian untuk menemukan lebih detail berbagai faktor dan variabel di seputar konsep-konsep yang berpengaruh dalam pembangunan daerah.
Dalam waktu tidak terlalu lama para ilmuan itu telah rampung dengan pekerjaan mereka. Mereka pun datang kembali menemui sang kepala daerah sambil menenteng naskah akademik yang tebal. Mereka dipersilakan memaparkannya di hadapan khalayak, baik dari kalangan pejabab, birokrat, maupun masyarakat kebanyakan. Semua hadirin manggut-manggut. Tidak ada sanggahan atau pembelaan. Semua paparan mengagumkan, dan diterima tanpa reserve. Para ilmuan pun senyum kepuasan.
Sebulan dua bulan mereka menunggu hasil kerja ilmiah mereka diterapkan oleh sang kepala daerah . Hasilnya nihil. Setahun mereka menunggu tidak ada tanda-tanda digunakan. Sampai akhirnya sang kepala daerah lengser dan diganti sang kepala daerah yang baru.
Para ilmuan tetap terjaga optimismenya, dan mereka menaruh harapan pada sang kepala daerah yang baru. Kembali mereka datang menghadap, menjelaskan urgensi peran mereka dalam pembangunan. Hasilnya, disepakati suatu pekerjaan penelitian untuk mencari bahan pengambilan kebijakan pembangunan. Kali ini pekerjaan selesai lebih cepat. Output-nya mengagumkan. Tak terhitung cemerlangnya konsep-konsep dari kajian itu. Juga canggih dan kompleks.
Setelah diadakan sosialisasi, para ilmuan kembali menunggu karya akademik mereka diterapkan. Kali ini menunggunya lebih lama, bertahun-tahun tak tahu juntrungannya. Sampai kemudian sang kepala daerah digantikan oleh orang lain.
Para ilmuan itu belum bosan-bosannya. Mereka menghadap sang kepala daerah yang baru ini. Kali ini mereka datang bukan hanya membawa usulan projek penelitian sebagaimana yang sudah-sudah, tetapi juga menegosiasikan posisi strategis mereka di kancah pembangunan masyarakat. Sudah harus disepakati posisi tawar mereka di depan penguasa. Tidak boleh lagi menjadi pihak yang terabaikan.
Karena trauma dengan pengalaman dengan kepala daerah-kepala daerah terdahulu, kali ini strategi komunikasi para ilmuan dimodifikasi. Kalau dulu-dulu santun dan bermartabat, maka kini lebih berapi-api dan bergelora.
“Mbok ya kami ini dihargai. Yang namanya ilmu itu mahal, Bapak. Kami mendapatkannya jauh-jauh dan mahal-mahal!” kata salah seorang dari ilmuan itu.
Sang kepala daerah manggut-manggut.
“Tu kan, lihat, bapak-bapak para pemimpin atau penguasa ini sama saja. Pura-pura mengerti padahal – sumpah! – tidak sama sekali,” timpal rekannya.
Sang kepala daerah masih manggut-manggut, kali ini dicampur dengan mesem-mesem.
“Jangan hanya manggut-manggut senyum-senyam begitu, Pak! Katakan sesuatu, kami butuh jawaban konkret dari Bapak!” kata seorang lagi.
Sang kepala daerah panas juga. Rokok kreteknya digasak di asbak sampai hancur bercerei berei tembakaunya, lalu ia bicara:
“Bapak-bapak yang mulia. Kami ini bodoh, tidak mengerti cara bapak-bapak berbicara. Bicara bapak-bapak tinggi sekali, sedang kami ini ilmunya rendah. Jadi, tolong pakai bahasa rendah agar kami paham. Kami bodoh, tulalit, tapi bapak-bapak kok rumit sih…” Para ilmuan sunggingkan senyum, ada aksen getir, dan saling memandang sesama. Seakan sudah mafhum masalahnya.[]
Anak Pelayan Belajar Melayani
“Sebagaimana aku tidak sudi menjadi seorang budak, aku pun tidak sudi menjadi seorang tuan” (Abraham Lincoln)
Memimpin adalah melayani. Pemimpin bukanlah orang yang pekerjaannya menciptakan situasi untuk menumpuk dan mengembangbiakkan hak-hak istimewa seorang manusia atas manusia lain, sehingga tercipta kenyataan saling menguasai. Memimpin adalah melayani kehendak orang lain, apalagi orang lain itu adalah mayoritas, atas kewajaran dan kemaslahatan. Pemimpin adalah pelayan.
Itulah kira-kira filosofi hidup yang dipegang teguh oleh Tokoh Kita, kapan dan di mana pun berada.
Suatu saat, seorang jenderal polisi datang mengunjungi daerah. Kami yang sedang belajar meneladani para pemimpin, menjemputnya di bandara. Ketika menunggu sang jenderal turun dari pesawat, bergabunglah Tokoh Kita setelah entah dari mana. Kami tidak mengenalnya, tapi ia berusaha akrab. Merasa dalam suasana kurang sopan berhadapan dengan tamu penting, ia segera minta diri, ke toilet. Keluar-keluar, penampilannya sudah berubah lumayan: baju sudah rapi ujungnya masuk ke balik pantalon, rambut sudah klimis, dan topi adidas yang tadi nempel di kepala dibuang entah ke mana. Begitu sang jenderal masuk ke ruang tunggu VIP, kami segera sambut, dengan salaman dan sapa-sapaan yang standar.
Jenderal berdarah Arab ini rupanya perokok juga. Lumayan juga hisapannya. Melihat tidak ada asbak di atas meja, ia toleh kanan-kiri mencari tempat layak untuk buang puntung. Tokoh Kita ambil peranan, ia segera menghilang, lumayan juga lamanya, sampai kemudian ia kembali membawa sebuah asbak – sebenarnya bukan asbak, tapi lepekan – yang kemudian diketahui ia ‘rampok’ di cafe sebelah. Ia letakkan asbak itu di atas meja dengan tingkah mirip seorang pelayan restoran, tanpa bicara apa-apa.
“Lho, kok bapak yang ambil?” kata Jenderal.
“Tidak apa, Jenderal. Sudah biasa,” jawab Tokoh Kita singkat, lalu berlalu.
Begitulah. Jenderal saja merasa agak kikuk dengan tingkah kegesitan Tokoh Kita, apalagi kami. Tapi Tokoh Kita rupanya tahu kata batin kami, maka tak lama kemudian, ia menjelaskan.
“Bung-bung tidak usah salah sangka. Ia memang adik tingkat saya waktu sekolah, tapi garis tangan kami berbeda. Ia bisa jadi jenderal, saya hanya baru calon walikota, belum tentu menang juga. Tak dosa melayani orang seperti ia.”
“Tapi, Tokoh Kita tendensius nih, ada maunya, kan mau jadi calon walikota,” kata saya.
Tokoh Kita ketawa. Menyembunyikan arti-arti.
Di hari-hari berikutnya, arti-arti itu sedikit demi sedikit terungkap. Ternyata, melayani orang lain adalah kebiasaan reflektif yang terpupuk sejak masa kanak-kanak dulu.
Ketika menjadi walikota, kebiasaan itu tidak surut. Jika anda bertamu kepadanya, entah di rumah atau di balkon hotel, pasti Tokoh Kita sendirilah yang sibuk membagi jajan dan minum. Atau kalau anda sempat bersamanya bergi berbelanja di swalayan, anda tidak perlu repot menawarkan kebaikan hati untuk menjinjing keranjang atau mendorong kereta belanja.
Seringkali siapa yang melihat perilaku melayani seperti itu, mengeluarkan kesan: “Walikota kok begitu? Kan ndak pantas penguasa sibuk-sibuk. Mestinya ia duduk memerintah atau menunggu dilayani. Jaga wibawa-lah.”
Apa kata Tokoh Kita jika mendengar komentar itu? Pasti gaya khasnya keluar: “E, mas-e, kau pikir walikota itu apa? Ia itu pelayan masyarakat, siapa pun warga kota. Saya melayani orang sebagaimana ibu melayani anak-anaknya. Who do you think I am?”.
Tapi, kepada penulis buku ini, ia berbisik: “Tau ndak, ibu saya dulu pelayan di istana. Itu masalahnya!”[]
Rakyat Pemimpin, Ya Mentraktir
“Pemimpin terbaik adalah yang kehadirannya tidak dirasakan. Tetapi ketika ia selesai dengan tugasnya, orang berkata, ’kita telah bisa sendiri” (Lau Tze)
Sudah merupakan etiket masyarakat di negeri ini kalau makan-makan di suatu restoran atau di mana pun, pasti salah seorang menjadi bos. Tidak nafsi-nafsi seperti masyarakat kapitalis.
Dan sang orang besar-lah yang pasti membayar. Jika pemimpin makan bersama rakyat, masa rakyatnya yang bayar? Itu melebihi Nazi namanya. Meskipun ada mekanisme sosial di mana rakyatlah yang sebenarnya membayar dan membiayai seluruh aktivitas bahkan hidup sang pemimpin beserta seluruh aparat dan keluarganya, tetap saja yang ‘tampak’ menanggung semua itu adalah sang pemimpin itu sendiri. Karena yang namanya pemimpin harus kelihatan sayang, baik, mengayomi, dan yang paling penting: kaya—di mata rakyat.
Sistem sosial manusia modern selalu saja canggih menciptakan tata aturan yang menempatkan sang pemimpin di atas yang lain. Tidak boleh pemimpin itu kere sehingga menanggungkan hidupnya kepada rakyat.
Tapi norma sosial ini warisan leluhur ini, kali ini didekonstruksi oleh Tokoh Kita. Rakyatlah yang harus mentraktir pemimpin. Rakyatlah yang bos. Kali ini, rakyat harus pede dan betul-betul memposisikan dirinya sebagaimana asal muasal dan hakekatnya, yakni mencukongi pemimpin. Tidak boleh berpura-pura lagi, semisal berperilaku miskin padahal kaya, bertingkah jongos padahal tuan setuan-tuannya.
Demikianlah. Kami makan sepuasnya. Saat merasa kurang, kami memesan kembali. Toh, ada Tokoh Kita yang akan membayarkan. Ia adalah orang besar di antara kami. Ia juga orang kaya yang tidak akan jatuh miskin gara-gara mentraktir tiga empat orang yang ususnya pendek-pendek di sebuah café kecil yang tidak terlalu mahal.
Kami juga tidak peduli tatkala Tokoh Kita kelihatan resah gelisah, seperti sedang menanti-nanti seseorang yang datang. Karena dalam pikiran kami, yang namanya pemimpin harus resah gelisah. Jangan ada pemimpin yang asyik santai macam kaum pensiunan. Sebab urusan rakyat itu bejibun yang dengan serius saja tidak selesai-selesai apalagi dengan santai. Meski tidak bisa mengatasi persoalan, menampakkan empati lewat kegelisahan dan gundah gulana sudah cukuplah. Rakyat cukup peka menangkap dan memahami jalan pikiran pemimpin. Setelah keadaan itu lama berlangsung, tiba-tiba Tokoh Kita angkat bicara, ia berpidato: “Saudara-saudara, menurut hukum demokrasi, rakyatlah yang paling berdaulat. Pasti saudara-saudara setuju itu. Rakyat adalah ketua dari segenap lapisan sosial mana pun. Coba, rakyat punya wakil segala di DPR, rakyat punya abdi yang bernama pemerintah. Jadi, apa kurangnya? Berbahagialah jadi rakyat, saudara-saudara.”
Semua mengangguk setuju. Kami semua berbinar mata ada pemimpin yang mau mengembalikan hak-hak rakyat yang telah lama dirampok.
“Jadi, bapak-bapak setuju demokrasi diterapkan di negeri kita ini?”
Semua mengangguk, jelas sangat setuju.
“Kalau begitu, tolong saudara-saudara bayar semua makanan ini.”
Semua melongo sambil melihat Tokoh Kita ngeloyor pergi.
Beberapa hari kemudian ketahuan, ternyata saat itu ia lagi nggak punya uang. Tas uangnya dibawa kabur seorang ‘pengawal’. Ia lagi apes, kena tipu muslihat.[]
Senin, 11 Januari 2010
Saleh Politik atau Takut Tertembak
Meskipun ada pandangan yang memisahkan politik dari agama, namun agama tetap punya arti penting bagi politik, demikian juga sebaliknya. Ada hubungan simbiosa mutualistik antara keduanya. Politik perlu agama sebagai sumber legitimasi, agama perlu politik sebagai payung dan ma’isyah (sumber daya hidup).
Komunikasi politik seringkali menggunakan bahasa agama. Apalagi dalam masyarakat agamis seperti negeri ini. Maka banyak dijumpai modus politikisasi agama. Umpama, bagi penguasa yang tidak memiliki latar belakang agama atau santri, katakanlah dari kalangan abangan atau priyai, cepat-cepatlah berhaji, atau minimal rajin ke masjid atau pesantren. Ada juga yang kalau pidato, prolognya berbahasa Arab atau ketika mencuplik potongan ayat al-Qur’an atau hadis difasih-fasihkan agar melekat kesan di benak hadirin ia memiliki pengetahuan agama yang mendalam. Ada juga yang rajin ngajak umat untuk ber-istighasah. Ini lebih kelihatan syi’ar dan gegap gempita lagi. Biar preman asal saleh. Macam-macam kecanggihan modus politik agama itu.
Para pengguna modus-modus itu tingkatannya juga bermacam-macam. Ada yang mahir betul sehingga tidak kelihatan kamuflazenya. Seakan-akan ia manusia yang betul-betul saleh padahal preman. Ada juga yang kemahiran berpura-pura-nya sama sekali tidak canggih sehingga rakyat tahunya ia bajingan melulu meski sudah dipoles sedemkian rupa. Penyamaran yang ia buat hanya menambah caci-maki saja. Ada juga yang samar-samar, bandit tidak, saleh juga tidak, tetapi ia tidak berusaha menutup-nutupi apa adanya atau menampakkan apa yang sebetulnya tidak ada.
Sering kami mendiskusikan hal itu, dan kalau sudah diskusi biasanya berlangsung berlarut-larut. Sampai juga akhirnya pada penilaian terhadap tokoh kita, bagaimana dengan ia?
Kata seorang peserta, tokoh kita ini unik. Haji sudah berkali-kali, mestinya kalau ke masjid pakenya surban atau topi haji lalu ambil shaf paling dekat dengan imam, bahkan sekalian jadi imam atau khatib. “Coba lihat, pemimpin tetangga sebelah itu, ke mana-mana khutbah dan ngimami. Ini, malah duduk di belakang.”
“Tapi bagus begitu,” kata peserta yang lain. “Ia kelihatan natural, tidak dibuat-buat. Mereka yang lain itu kan sok jadi pemimpin. Meski terlambat tapi tetap harus di depan, dilayani, dan semua orang diserobot. Seharusnya ia hanya dapat telur tapi jadi dapat unta. Itu feodal namanya.”
Yang lain menyambut: “Coba pemimpin kita, terlambat ya di belakang. Merasa nggak bisa agama, ya jadi pendengar saja. Menjadi kepala daerah kan urusan politik, urusan ibadah sama saja untuk semua orang. Itu merakyat namanya.”
Yang lain menentang. “Kenapa tokoh kita tidak suka tampil jadi bintang kalau ada perhelatan keagamaan? Itu karena memang ia tidak memiliki kemampuan untuk mengelola agama sebagai piranti politik, bukan apa-apa.”
“Bukan tidak mampu, tapi tidak mau. Itu memecah dan membodohi umat namanya. Sudah nggak banyak berbuat menggerogoti lagi. Kan payah,” bantah yang lain.
Macam-macam asumsi yang berkembang mengenai tingkah laku politik tokoh kita. Masing-masing ngotot atas pendapat sendiri. Sampai-sampai ada yang sudah mencengkeram kerah baju teman segala. Akhirnya diputuskan untuk mengkonfirmasi langsung kepada sang tokoh kita.
“Apa yang membuat Bapak suka duduk di belakang kalau pergi shalat Jum’at ke kampung-kampung, tidak di depan dan jadi imam seperti kebanyakan pejabat yang lain?”
Tokoh kita menjawab: “Begini, Mas. Kalau ada teroris pasti yang diberondong barisan depan. Lha, kita di belakang tinggal angkat sarung lalu loncat pagar. Selamat ente punya pemimpin.”
Para peserta diskusi hanya bisa ‘o o o’.●
Langganan:
Postingan (Atom)